wahyusuwarsi.com

REVIEW NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI


Novel Pulang
novel-pulang
(Gambar: koleksi pribadi)


IDENTITAS BUKU

Judul buku: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta.
Tahun terbit: Juni 2024 (cetakan ke-29)
Genre: Fiksi sejarah
Tebal: 461 halaman
Ukuran buku: 13,5 x 20 cm
ISBN: 978-602-424-275-6

TENTANG PENULIS

Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta 12 Desember 1962, menempuh pendidikan di Trent University, Kanada. Karyanya mulai dipublikasikan di media saat berusia 12 tahun.

Tahun 1989 melahirkan kumpulan cerpen Malam Terakhir dan diterjemahkan ke dalam bahas Jerman. Kemudian tahun 2009 melahirkan kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang diterbitkan Kepustakaan Utama Grafiti, dan mendapatkan penghargaan Badan Bahasa Indonesia.

Tahun 2012 menghasilkan novel Pulang, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Italia. Novel ini memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari “75 Notable translation of 2016 oleh World Literature Today.” Novel Pulang ini mulai ditulis tahun 2006 dan selesai pada tahun 2012.

Leila adalah penulis skenario drama televisi berjudul Dunia Tanpa Koma dan penulis skenario film pendek Drupadi, yang merupakan produksi Sinemart.

SINOPSIS

Novel Pulang adalah spin off dari novel Namaku Alam. Novel Pulang mengajak pembaca kembali ke masa lalu yaitu:
  • September 1965 saat terjadi penculikan terhadap para jenderal.
  • Tahun 1968 di Perancis yaitu pada saat Revolusi Perancis.
  • Tragedi 1998 yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Menceritakan perjalanan hidup para eksil politik di luar negeri (negara tempat mereka mendapat suaka). Eksil adalah orang-orang yang diasingkan ke luar negeri dan tidak boleh pulang ke Indonesia. Saat itu banyak mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa dari Presiden Soekarno ke luar negeri. Kemudian pada saat terjadi pergolakan di Indonesia (G30S), mereka tidak boleh pulang. Paspornya ditahan dan dicabut kewarganegaraannya karena dianggap berhaluan kiri (menentang negara). Mereka dituduh pro partai terlarang pada waktu itu. Hingga kini banyak eksil yang hidup di negara yang memberi suaka, antara lain Perancis.

TAHUN 1966

Dimas adalah salah satu wartawan Berita Nusantara, bersama dengan Hananto sebagai pimpinan redaksi, Nugroho dan Risjad. Saat itu masing-masing orang diharuskan menentukan pilihan pihak kanan (pro pemerintah) atau pihak kiri (menentang pemerintah). Hananto, Nugroho dan Risjad memilih pihak kiri, sedangkan Amir memilih pihak kanan. Dalam hal ini Dimas memilih netral karena tak mau mengkotak-kotakkan pertemanan mereka.

Namun demikian Dimas lebih sering menghabiskan waktu bekerja bersama ketiga temannya tersebut. Suatu saat Dimas harus menggantikan Hananto yang tertangkap. Dimas menggantikan Hananto menghadiri konferensi tahunan para pemimpin media pada International Organization of Journalists di Santiago. Hingga menyebabkan Dimas dan tiga kawannya menjelajah Eropa dan terpaksa melupakan tanah airnya. Sebelumnya mereka berpetualang dari satu negara ke negara lain dan berakhir di Paris, Perancis.
Selama di negeri orang, Dimas, Tjai, Risjaf dan Nugroho tetap memantau pergolakan di Indonesia. Mereka merasa bersalah terhadap teman-temannya yang ditangkap.

PARIS, MEI 1968

Dimas tiba di Paris bertepatan dengan Revolusi Perancis 1968. Disinilah Dimas Suryo bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswi yang ikut demo melawan pemerintah Perancis. Mereka berdua saling tertarik, setelah menjalin hubungan beberapa lama kemudian memutuskan menikah. Di saat yang sama, Dimas mendapat kabar dari tanah air bahwa Hananto Prawiro ditangkap dan ditembak mati.

Sebelum Hananto tertangkap, anak dan istrinya ditahan di sebuah rumah di jalan Budi Kemuliaan dan setiap hari diinterogasi keberadaan Hananto. Istri Hananto adalah Surti (mantan pacar Dimas saat kuliah) dan ketiga anaknya Kenanga, Bulan dan Alam yang berumur 3 tahun.

Untuk menyambung hidup, Dimas dan ketiga kawannya mendirikan Restaurant Tanah Air dengan masakan khas Indonesia (rendang, nasi kuning, sambal goreng ati dan lainnya). Restaurant ini ada di Paris.

Dari hasil pernikahan dengan Vivienne lahirlah Lintang Utara seorang gadis cantik blasteran Jawa Perancis. Lintang tumbuh menjadi gadis yang cerdas, dia kuliah di Universitas Sorbonne, Perancis.

Banyak kejadian dialami Lintang sehubungan dengan ayahnya sebagai eksil politik. Kejadian di KBRI saat Lintang menghadiri suatu perayaan bersama kekasihnya Narayana, membuat Lintang marah dan sangat tersinggung. Saat itu banyak tamu yang membicarakan tentang tapol dan mereka menyebutnya pengkhianat negara. Lintang tahu bahwa ayahnya adalah eksil politik. Ada peraturan dari pemerintah tentang Bersih Lingkungan dan Bersih Diri, yaitu banyak batasan-batasan pada mantan tapol (tahanan politik) dan keluarganya. Diantaranya, tidak boleh menjadi pegawai pemerintahan, tidak boleh menjadi pegawai BUMN dan banyak lagi aturan yang lain.

INDONESIA, MEI 1998

Atas bantuan seorang temannya di KBRI, Lintang berhasil memperoleh visa untuk berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya ke Indonesia sehubungan dengan tugas akhir penelitiannya. Lintang ingin mewawancarai keluarga tapol untuk membuat sebuah film dokumenter.

Bersama Segara Alam (anak Hananto), Linang menjadi saksi jatuhnya Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Pada kerusuhan 1998, banyak terjadi kekacauan. Kebakaran terjadi dimana-mana (gedung, mall, supermarket, bank, ATM dijarah). Banyak korban terbakar dan penyerangan terhadap warga keturunan.

Akhirnya Lintang memilih bersama Alam. Dan Dimas berhasil pulang ke Indonesia walaupun hanya jasadnya yang dimakamkan di pemakaman Karet, sesuai permintaannya.

PENUTUP

Alur cerita yang maju mundur, mengajak pembaca ke masa lalu yaitu sejarah kelam Indonesia. Novel ini ditulis berdasarkan wawancara penulis dengan para eksil di Paris dan Jakarta. Menggunakan beberapa sudut pandang dari Dimas, Bimo, Alam, Lintand dan Vivienne. Konflik-konflik yang terjadi pada buku ini, makin membuat penasaran pembaca untuk menuntaskannya.

Merupakan kisah sejarah dan kisah cinta yang dikemas dengan apik dan bahasa menarik, sehingga pembaca tidak bosan menuntaskan buku ini. Dimas yang begitu cinta tanah air dan ingin pulang ke Indonesia. Lintang yang ingin mengenal tanah air (rumahnya yang lain), serta ingin tahu latar belakang ayahnya yang eksil.

Buku ini membawa pembaca mengenang sejarah kelam Indonesia, memberi pengetahuan tentang kehidupan eksil politik di negara Eropa.
Buku yang dapat direkomendasikan untuk generasi muda agar mengetahui sejarah kelam Indonesia di masa lalu.
Semoga bermanfaat.

13 komentar

  1. Novel berlatar belakang tahun 1966 selalu terasa sendu dan suram mungkin karena tertuang kegetiran di dalamnya. Apalagi novel ini telah memenangkan banyak penghargaan.

    BalasHapus
  2. Wah, memang ya pergolakan di Tanah Air di tahun 60-an ini menyesakkan dada semua orang. WNI di luar negeri hanya bisa pasrah tidak bisa kembali ke Indonesia. Yang ada di Indonesia pun banyak menghadapi cobaan. Rasanya semua harus siap mati. Sejarahnya masih abu-abu hingga kini soal G 30 S PKI ya mbak hiks :(

    BalasHapus
  3. Duh ceritanya bikin hati kelabu, seperti sejarah tahun 60-an yang banyak duka.

    BalasHapus
  4. buku ini baguuusssss. semua buku Leila emang bagsu2 sih wkwk. tapi, aku lupa yang ini udah baca atau belum soalnya udah lama. kalo yg laut bercerita aku udah baca. udah baca juga blm mbak?

    BalasHapus
  5. Aku belum pernah baca karya Bu Leila Chudori, karena belum siap mellow. Tahu banget tulisan beliau sangat dalam dan menyentuh. Baca review ini jadi tertarik mulai membaca karya beliau, menguatkan hati dulu deh

    BalasHapus
  6. menarik nih ceritanya, aku jarang baca novel yang ada unsur sejarahnya. Nanti cek di ipusnas ada ga ya..

    BalasHapus
  7. Ternyata novel pulang isinya tentang sejarah dan perjuangan gini ya. Seru banget diajak maju mundur sama penulisnya. Jadi ngebayangin kehidupan di zaman itu.

    BalasHapus
  8. Oh pernah tau judul novel Pulang ini, tapi baru tau klo isinya tentang sejarah Indonesia dan negara lainnya. Keren ya, selalu kagum sama penulis yang penuh riset dan wawancara dalam menuangkan ide tulisannya.

    BalasHapus
  9. Saya belum pernah baca buku yang pulang ini. Baru masuk wishlist. Tapi saya suka dengan penuturan khas leila yang to the point ndak bertele-tele. Yang novel berjudul Namaku Alam juga bagus dan temanya kisahnya juga sama-sama tentang tragedi kelam Indonesia. :)

    BalasHapus
  10. Saya sangat suka Laut Bercerita dan bisa dipastikan saya juga akan menyukai Pulang ini. Namun, saya baru tahu novel-novel ini merupakan sebuah trilogi.

    BalasHapus
  11. Sejarah Indonesia tuh penuh luka ya, heran juga kita masih bertahan sebagai negara hingga kini..aku baru baca Pulang dan Laut Bercerita, nyesek banget..

    BalasHapus
  12. Menarik ceritanya, saya masih antri pinjam di ipunas nih, moga segera dapat bukunya
    Penasaran dengan kisah tapol ini, teman bapakku ada juga yang ga bisa pulang saat dapat beasiswa ke Rusia

    BalasHapus