wahyusuwarsi.com

DIANA CRISTIANA DA COSTA ATI BIDADARI PEMBERANTAS BUTA HURUF DI DESA ATTI PAPUA SELATAN

 


Diana bersama siswa di Papua Selatan


Kabupaten Mappi di Papua Selatan adalah salah satu daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sesuai Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Agraris (puslapdik.kemdikbud.go.id).

Di daerah tersebut masalah pendidikan masih sangat memprihatinkan. Kondisi geografis di pedalaman Papua menjadi salah satu kendala rendahnya pendidikan disana. Banyak anak-anak di pedalaman Papua (Mappi) yang belum bisa membaca, menulis ataupun berhitung. Bahkan ada anak yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 SD pun belum bisa membaca dengan lancar.

Adalah seorang gadis cantik keturunan Timor Leste yang tergerak untuk mengabdi di daerah tersebut. Gadis itu adalah Diana Cristiana Da Costa Ati, yang mempunyai tekat memajukan pendidikan di daerah Papua Selatan, dengan cara memberantas buta huruf dan menjadi guru di sana.

Diana jatuh cinta pada lirik lagu yang dinyanyikan Edo Kondologit berjudul “Suara Kemiskinan”. Edo Kondologit adalah penyanyi yang berasal dari Indonesia Timur. “Tanah kami tanah kaya, kami berenang di atas minyak, tidur di atas emas.” Kondisi ini menggambarkan bahwa sumber daya alam di daerah Papua sangat kaya, namun hal ini berbanding terbalik dengan penduduknya yang hidup jauh dari kesejahteraan atau masih ada dalam kemiskinan dan kebodohan.

BERAWAL SEBAGAI GURU PENGGERAK DAERAH TERPENCIL

Gadis cantik yang lahir tanggal 12 Pebruari 1996 di Atambua Nusa Tenggara Timur, mempunyai darah campuran Timor Leste dan Atambua. Ayahnya asli berdarah Timor Leste dan memilih kembali ke Timor Leste, sedangkan Diana dan ibunya memilih menjadi warga negara Indonesia. Kini mereka berpisah dan hanya bertemu ayahnya di pintu batas.

Diana adalah sarjana lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dari Universitas Cendana Kupang, NTT. Tekatnya yang begitu kuat untuk memajukan pendidikan di Papua Selatan, mengantarnya untuk mendaftar menjadi Guru Penggerak Daerah Terpencil.

Pada tahun 2017 melalui akun resmi Gugus Tugas Papua (GTP) UGM, Diana mendaftar Program Guru Penggerak Daerah Terpencil dengan perjanjian kontrak hingga tahun 2020. Program ini merekrut guru-guru muda yang mau mengabdi di daerah pedalaman (Mappi), dengan kondisi tanpa listrik dan tanpa jaringan internet. Program GPDT ini merupakan inisiatif dari Bupati Mappi (periode 2017-2022) yaitu Kristosimus Yohanes Agawemu.

BERTUGAS SEBAGAI GPDT DI KAMPUNG KAIBUSENE


Di SDI Kaibusene
bersama-siswa-SDI-Kaibusene
(Gambar: papuasatu.com)


Awal mula bertugas (tahun 2018) sebagai guru penggerak, Diana ditempatkan di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan.

Kehidupan masyarakat Kampung Kaibusene masih ada dalam kemiskinan. Pada musim kemarau mereka hidup di atas lumpur, sedangkan pada musim hujan mereka hidup di atas genangan air rawa. Mata pencahariannya adalah mencari kayu gaharu di hutan, sambil membawa anak-anaknya. Orang Papua mencari makan di hutan, dan tidak bercocok tanam di kampung. Mereka mempunyai pola pikir bahwa tingkat kesuksesan anak-anak Papua adalah bila bisa berburu, memanggur sagu, membawa tombak dan memelihara babi. Bagi mereka, sekolah utama adalah “membantu orang tua.” Karena itulah Diana harus mengubah pola pikir masyarakat di pedalaman Papua dan mengedukasi para orang tua tentang pentingnya belajar, untuk masa depan anak-anak mereka.

Diana sangat sedih karena saat pertama datang di SD Inpres Kaibusene (Nopember 2018), anak-anak disana tidak bisa menyebut identitas negara Indonesia, warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora, dan murid kelas 6 SD tidak bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, selain itu juga tidak hafal Pancasila. Demikian juga siswa kelas 5 dan 6 SD belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Memang kondisi masyarakat disana 90 persen lulusan SD, akan tetapi kemampuan calistung (membaca, menulis, berhitung) masih sangat kurang.

Kondisi ini membuat Diana menangis. Di Kampung Kaibusene fasilitas sekolah sangat terbatas, tenaga pendidik juga sangat kurang. Disana hanya ada 3 ruangan sehingga saat belajar, semua murid harus bercampur.

Diana terharu, anak-anak didiknya mengatakan “Ibu sa su capek ka begini terus, sa mau naik pesawat kayak bapak-bapak dorang di Jakarta sana, naik mobil mewah, sa tra pernah naik mobil Ibu guru, sa mau tidur di atas spon, sa mau minum air bersih, sa mau jadi orang hebat Ibu.” Perkataan anak didiknya ini semakin memacu semangat Diana untuk memberantas buta huruf dan memajukan daerah pedalaman Papua ini.

Kondisi berubah sejak tahun 2019. Anak-anak didiknya sudah bisa baca tulis, bisa menyanyikan semua lagu nasional, sudah bisa belajar bahasa Inggris dasar, sudah bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan sudah hafal Pancasila.

Atas dedikasinya ini Diana mendapat penghargaan sebagai Guru Teladan dari Kabupaten Mappi (tahun 2019) dan sebagai Guru Kreatif dari Provinsi Papua (tahun 2018).

BERTUGAS SEBAGAI GPDT DI KAMPUNG ATTI

Kontrak di Kaibusene hanya berjalan 2 tahun hingga tahun 2020. Setahun kemudian (tahun 2021) Diana kembali ditugaskan ke Mappi oleh Bupati Kristosimus, Diana ditempatkan di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan.

Diana ditugaskan mengajar di SDN Atti dan hanya merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kampung Atti. SDN Atti letaknya ada di tengah ladang yang berselang-seling dengan hutan dan rawa. SD ini jaraknya kurang lebih 1 km dari pemukiman penduduk. Perjalanan dari Merauke membutuhkan waktu 9 jam ( udara).

Sedangkan bila lewat jalan darat butuh waktu 23 jam untuk sampai ke SDN Atti dari Merauke. Dari Merauke ke Asike di Kabupaten Boven Di Goel (8 jam), kemudian dilanjutkan dengan speed boat ke Kepi selama 7 jam. Dari Kepi jalan darat selama 2 jam ke Pelabuhan Agham. Kemudian dengan perahu ketinting menelusuri sungai ke Kampung Khaumi di Kampung Atti selama 4 jam. Dari kampung Atti berjalan kaki selama 2 jam ke SDN Atti. Perjalanan menggunakan perahu ketinting sering terhambat rumpun tebu rawa, sehingga Diana dan rekannya berhenti untuk membersihkannya agar perjalanan lancar kembali. Juga perjalanan berjalan kaki sering menimbulkan rasa was-was di hati Diana, bila bertemu binatang buas terutama saat-saat menjelang senja. Namun Diana tak gentar, tekatnya sudah bulat untuk mengajar di SDN Atti.

Di SDN Atti ini Diana ingin memberantas buta huruf, mengajar berhitung dan nasionalisme. Sama seperti kondisi di Kaibusene, di SDN Atti pun siswa kelas 6 belum bisa membaca. Hal ini juga disebabkan karena guru dan kepala sekolah yang menetap di daerah lain, tak pernah datang ke sekolah. Di SDN Atti Diana menjadi guru penggerak bersama 2 orang rekannya sesama guru penggerak yaitu, Fransiska Erlyansi Bere dan Oktofianus Halla. Mereka bertiga tinggal di mess sekolah, di lingkungan sekolah. Fasilitas mengajar dan belajar juga tidak memadai. SDN Atti hanya memiliki 3 ruang kelas yang terbatas. Bahkan jumlah meja dan kursi juga terbatas, sehingga siswa duduk di lantai.


Siswa duduk di lantai
siswa-duduk-di-lantai
(Gambar: puslapdik.kemdikbud.go.id)

 
Di Kampung Atti ini Diana juga berjuang melakukan pendekatan pada masyarakat, dan mengedukasi tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Memang tidak mudah mengubah pola pikir masyarakat. Namun dengan kesabaran dan kegigihan Diana, akhirnya mereka mengizinkan anaknya untuk sekolah.

Disini Diana memfokuskan pada program calistung (baca tulis hitung). Hingga saat ini jumlah siswa kelas 1sampai kelas 6 adalah 86 orang. Bahkan sudah banyak siswa yang bisa melanjutkan ke SMP. Sedangkan jumlah guru ada 3 yang mengampu semua mata pelajaran. Tenaga kependidikan berjumlah 5 orang.


Kondisi kelas di SDN Atti
kondisi-kelas-SDN-Atti-setelah-direnovasi
(Gambar: puslapdik.kemdikbud.go.id)

 
Siswa SDN Atti bertempat tinggal jauh dari sekolah, bahkan ada 6 orang siswa yang tinggal di hutan, dan menempuh perjalanan 2 jam untuk sampai di sekolah. Pada awalnya siswa tidak memakai seragam merah putih (seragam SD). Mereka ke sekolah memakai baju yang sama dengan baju yang dipakai di rumah. Akan tetapi sekarang ini siswa sudah berseragam merah putih. Diana terharu karena siswa akan berganti baju seragam setelah tiba di sekolah, disebabkan karena perjalanan dari rumah ke sekolah butuh waktu 2 jam, Dan ada juga siswa yang harus menyeberang sungai untuk sampai ke SDN Atti, hingga setiap hari menitipkan buku di sekolah (setelah pelajaran selesai) agar buku tidak basah.

Pada tahun 2023 internet sudah berhasil masuk ke Desa Atti. Untuk menunjang kelancaran Kegiatan Belajar Mengajar, Diana meminta donasi melalui media sosial. Bantuan yang diminta berupa buku, alat tulis dan pakaian layak pakai untuk anak-anak. Bantuan tersebut dikirimkan ke tempat kost Diana, di Kota Kepi ibukota Kabupaten Mappi. Ya, Diana menyewa kamar Rp 500.000/bulan untuk menampung donasi. Tiap 5 bulan sekali Diana pergi ke kota untuk mengambil barang donasi dan belanja bahan makanan persediaan 5 atau 6 bulan ke depan.


siswa-SDN-Atti-menggunakan-tablet
(Gambar: dari Instagram diana_cristiana_da_costa)

 
Tak jarang pula Diana menggunakan sebagian gajinya untuk membantu siswanya. Selain itu Diana juga membuat buku pelajaran sendiri yang ditulis tangan dan disesuaikan dengan kondisi siswa. Buku kemudian dibagikan ke siswanya. Hal ini disebabkan karena bacaan buku-buku Kurikulum 13 sulit dipahami untuk siswa di pedalaman Papua.

Diana menerapkan metode bermain di alam sambil belajar. Sebagai contoh misalnya, siswa diajak memetik mangga sambil menghafal perkalian, siswa diajak bermain di rawa sambil berhitung dan juga berdoa dalam bahasa Inggris.

Selain belajar calistung, siswa diajak bercocok tanam sayuran. Tiap pukul 15.00 WIT siswa mulai bercocok tanam sayuran kangkung, tomat, bayam dan lainnya. Mereka merawat tanaman itu hingga panen, kemudian hasilnya dimasak dan dimakan bersama-sama di kelas. Dari sini Diana mengajarkan kebersamaan dan gotong royong pada siswanya.

Untuk menanamkan budaya membaca, Diana membuka perpustakaan di rumahnya dengan koleksi 500 buku. Perpustakaan “Merah Putih” buka setiap pukul 16.00 WIT. Dari anak-anak, orang dewasa, orang tua, bahkan kepala suku ikut belajar membaca di perpustakaan tersebut.

Masyarakat sangat bersyukur karena sejak ada Diana dan 2 rekannya, anak-anak mengalami banyak kemajuan. Sebagai tanda terima kasih, masyarakat sering mengirimkan bahan makanan dan anak-anak menimba air sumur dekat mess guru.

MENDAPAT PENGHARGAAN DARI ASTRA

Karena jasanya tersebut Diana mendapat penghargaan SATU Indonesia Award dari Astra di bidang pendidikan sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil.

Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut (astra.co.id).

Kini setelah mendapat penghargaan dari Astra, kondisi kelas di SDN Atti lebih layak untuk belajar, meja dan kursi sudah ada. Bahkan jembatan sebagai akses utama di kampung Atti sudah diperbaiki. Kampung Atti mendapat bantuan tablet (komputer) 3 unit, listrik dan jaringan dari tenaga surya. Siswa di SDN Atti bisa bergantian menggunakan tablet dalam seminggu 4 kali.

Semoga kisah Diana menginspirasi generasi muda yang lain untuk turut memajukan pendidikan di daerah pedalaman Indonesia. Semoga bermanfaat.

17 komentar

  1. Tak hanya Kak Diana yang menangis, aku yang membaca kisah ini pun ikut menangis, sedih rasanya yah. Terima kasih smg ada banyak Kak Diana lainnya yang mau berdedikasi untuk pendidikan di sana.

    BalasHapus
  2. Inspiratif banget kisah Kak Diana yang penuh dedikasi jadi bikin terharu nih, gak mudah untuk bisa bersekolah harus menempuh perjalanan sejauh itu, butuh kegigihan dan semangat yang tinggi yaaah

    BalasHapus
  3. Saya kalau baca soal papua itu asli kesel mba.. kekayaan alam mereka di kerok abis, tapi rakyatnya ditelantarkan. keseeel. Saya pernah tinggal di Papua selama 4 tahun jadi ngerasa seperti bagian dari saudara saya disana. Salut memang sama Mba Diana ini. punya hati seperti tanah papua.

    BalasHapus
  4. Memang nyata, pendidikan di Indonesia itu belum merata, terlebih di kawasan 3T. Salut buat mba Diana yang tetap gigih berdedikasi demi membantu saudara kita di Papua.

    BalasHapus
  5. Ga banyak guru yang mau untuk mengajar di tempat 3T yang tentunya serba tidak memadai, salut dengan kegigihan mbak Diana dkk yang tetap semangat untuk turut andil mencerdaskan bangsa

    BalasHapus
  6. Sedih banget membaca harapannya yang ingin naik pesawat dan lain sebagainya. Semoga aja keinginannya terwujud. Jadi anak bangsa dari Papua yang memajukan provinsinya. Semangat selalu. Aamiin

    BalasHapus
  7. Baca lirik lagu Edo Kondolangit diawal paragraf, cukup bikin terharu mbk. Nggak kebayang kondisi asli disana bagaimana. Untungnya ada mbk Diana, salut sekali dengan kegigihannya

    BalasHapus
  8. Bacanya sambil berkaca-kaca. Salut dan bangga pada perjuangan dan kegigihan Diana untuk memajukan pendidikan di tanah Papua. Salut juga untuk Astra yang telah memberikan penghargaan dan bantuan.
    Semoga ke depan anak-anak Papua bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan yang diterima anak-anak Indonesia lainnya

    BalasHapus
  9. Ya Allah, perjalanan menuju dan pulang SDN Atti ternyata sesulit itu. Jauh, moda transportasi pun seadanya. Was-was ada binatang buas dan segala rintangan menghadang, bisa ditaklukkan oleh Diana. Aku sangat terharu membaca artikel ini. Diana patut menerima Satu Indonesia Awards dan pemerintah seharusnya pun semakin menyediakan fasilitas dan apapun yang berhak didapatkan Diana serta seluruh anak dan warga Desa Atti Papua Selatan. Merdeka dari buta huruf, alhamdulillaah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener bgt mbak. Molly baru tau melalui kisahnya mbak Diana ini, pendidikan di papua sedemikian sulit aksesnya. huhuu.. sedih bgt.

      Hapus
  10. Sedih kalo melihat kondisi daerah Papua yang masih belum merasakan fasilitas pendidikan seperti di daerah lain di Indonesia. Super keren Diana dengan segala keterbatasannya masih bersemangat mengajar anak-anak Papua. Melihat anak-anak Papua dengan tablet kok aku jadi terharu, hal yang biasa di kota umumnya. Semoga makin banyak anak muda yang terinspirasi dengan apa yang dilakukan Diana

    BalasHapus
  11. Terharu membaca kisah tentang perjuangan Diana memajukan pendidikan di Mappi. Sosok anak muda yang layak dijadikan teladan dan idola. Informasi anak-anak muda seperti Diana ini selayaknya yang mengisi beranda laman berita media nasional kita

    BalasHapus
  12. Luar biasa perjuangan kak Diana ini, yang menginspirasi kita semua bahwa memberikan manfaat kepada sesama dapat berdampak baik. Apalagi ini untuk bidang pendidikan ya. Semoga banyak lagi orang-orang seperti Kak Diana

    BalasHapus
  13. Benar-benar berhati bidadari ya Kak Diana ini, beliau rela mengabdi menjadi guru di daerah terpencil agar anak-anak di Papua bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Selalu salut dengan perjuangan para guru di daerah terpencil, sungguh mereka pahlawan tanpa tanda jasa

    BalasHapus
  14. Kagum banget dengan perjuangan Kak Diana ini, nggak tanggung-tanggung lho meninggalkan kenyamanan tempat tinggalnya untuk mengajar dan mencerdaskan anak Papua...semoga Papua makin maju ya..

    BalasHapus
  15. Beneran the real bidadari tak bersayap ya kak Diana ini. Perjuangan, upaya, usaha dan ketulusannya mendidik anak-anak di Papua sangat patut diacungi dua jempol. Bahkan rasanya saya ingin angkat topi sebagai tanda hormat.

    Pahlawan tanpa tanda jasa ini beneran kasih kontibusi positif dalam pemberantasan buta huruf.

    BalasHapus
  16. diana sungguh besar dedikasimu untuk negeri. tidak mudah menjadi seorang guru ditengah berbagai keterbatasan. diana, jasamu sungguh berarti, pengabdianmu sungguh mulia

    BalasHapus