Setiap keluarga pastinya punya tradisi atau kebiasaan masing-masing. Begitu pun tradisi di keluarga saya yang selalu tak pernah saya dan adik-adik lewatkan. Saya ingin cerita tradisi lebaran di keluarga kami, yang sekarang hanya tinggal kenangan dan tak bisa diulang lagi. Sedih? Tentu saja sangat sedih karena kami tak bisa mengulang lagi moment tersebut.
Saya memiliki 3 saudara kandung yang saat ini masing-masing sudah berumah tangga. Dulu saat kami ber-empat belum menikah dan masih kumpul bersama bapak ibu, di keluarga kami ada kebiasaan yang harus dan selalu dilakukan. Mungkin kebiasaan itu bisa juga disebut tradisi di keluarga kami, yang dijalankan saat ramadhan dan lebaran atau hari raya iedul fitri.
TRADISI BULAN RAMADHAN
Pada saat bulan ramadhan, setiap sahur dan buka puasa, bapak mengharuskan kami untuk selalu berkumpul di meja makan dan makan bersama. Sesibuk apapun kami, setiap berbuka puasa harus diusahakan untuk makan di rumah, walaupun mungkin ada di antara kami yang punya acara bukber bareng teman misalnya. Bapak saya adalah seorang anggota TNI AD yang terkenal sangat disiplin mendidik anak-anaknya, bahkan terkesan sangat otoriter mendidik kami. Tetapi kami sebagai anak pun juga patuh dan taat pada aturan keluarga ini. Tak ada satu pun dari kami yang berani membantah aturan bapak dan ibu.Setelah itu shalat maghrib berjamaah dilanjutkan tarawih. Namun tak jarang bila ada undangan tarawih keliling, kami sekeluarga juga akan berangkat bersama-sama. Tarawih bersama dengan umat muslim lainnya.
Biasanya untuk menyiapkan makan sahur, ibu bangun pukul 02.00 dini hari. Setelah sholat malam, beliau langsung berjibaku di dapur menyiapkan makan sahur untuk kami sekeluarga. Tak jarang saya dan kedua adik perempuan saya ikut membantu menyiapkan hidangan makan sahur. Rasanya ikut puas dan senang, bisa menikmati ramadhan bersama keluarga.
TRADISI IEDUL FITRI
Saat lebaran pun tiba. Kami sekeluarga tak menyia-nyiakan untuk shalat Ied bersama-sama. Biasanya setelah shalat Ied selesai, kami mengadakan acara sungkeman pada bapak dan ibu. Saling meminta maaf lahir dan bathin, agar lebih baik lagi dalam menjalankan ibadah.Sehari menjelang lebaran, biasanya ibu sibuk di dapur. Beliau sibuk menyiapkan masakan untuk hari lebaran. Masakan wajibnya yaitu ketupat, lontong, opor ayam, sambal goreng dan sayur lodeh dengan bubuk kedelainya. Semuanya ibu yang memasak sendiri menu-menu itu. Walaupun capek, tapi dari wajahnya saya bisa melihat pancaran rasa puas setelah semua tersedia. Masakan ibu saya memang enak.
Setelah kami ber-empat menikah pun, setiap lebaran selalu datang ke rumah masa kecil kami. Tentu saja untuk sungkem kepada orang tua kami, beserta anak-anak kami yang adalah cucu-cucu bapak dan ibu. Anak-anak juga sangat senang masakan eyang putrinya, yang katanya lebih enak daripada masakan saya sebagai ibunya. Tak lupa juga eyang kakung dan eyang putri sudah menyiapkan angpao (uang dalam amplop) untuk anak-anak kami. Karena itulah anak-anak pasti senang bila diajak ke rumah eyangnya, karena disana mereka dimanjakan oleh eyangnya.
SETELAH BAPAK IBU TIADA
lebaran-keluarga-besar-di-Solo (Gambar: koleksi pribadi) |
Tahun 1999 setelah ibu saya meninggal, tradisi sungkeman di keluarga kami masih berlanjut. Namun yang berubah adalah tradisi masak memasak saat lebaran. Karena saya tak pandai memasak, saat lebaran saya lebih suka pesan ke katering yang bisa menyediakan masakan lebaran (opor, sambel goreng dan kawan-kawannya).
Semenjak ibu meninggal, bapak tinggal di rumah saya. Jadi setiap lebaran pasti adik-adik berdatangan dan menginap di rumah saya. Karena saya anak sulung yang dituakan dan ada bapak yang tinggal berama saya.Wah, rasanya senang sekali berkumpul bareng adik-adik dan ponakan-ponakan. Kebetulan ke tiga adik saya berdomisili di luar kota Semarang. Tetapi rasanya ada yang kurang, karena ibu sudah tidak ada. Sedih? Pasti lah … rasanya nggak utuh lagi, ngga ada yang memasak buat kami. Biasanya sesudah sholat Ied kami berziarah ke makam ibu dan mendoakan agar tenang di sisi Allah SWT.
Setahun yang lalu bapak meninggal karena stroke. Sedih sekali rasanya, bila mengingat semua ini. Bahkan sampai saat ini pun tanpa terasa buliran air mata jatuh ke pipi, bila ingat masa-masa selagi masih ada beliau. Ya bagaimana tidak sedih, bertahun-tahun setelah ibu wafat, bapak tinggal bersama kami. Bulan ramadhan dan lebaran pun selalu di rumah kami bersama dengan putra-putri dan cucu-cucunya.
Kini setelah kedua orang tua kami tiada, tradisi lebaran kumpul bersama keluarga masih kami lakukan. Hanya saja tidak selalu di Semarang, namun di kota-kota lain tempat domisili adik-adik saya. Bergantian tiap tahun. Tahun ini adalah tahun ke-dua setelah bapak tiada. Tahun lalu kami berkumpul di kota Solo setelah shalat Ied, tahun ini kami berencana ngumpul di kota Purwokerto setelah shalat Ied. Tradisi nyekar ke makam bapak ibu tetap kami lakukan. Tradisi sungkeman anak-anak kami juga selalu kami lakukan. Walaupun sedih tanpa kehadiran orang tua kami (eyang kakung dan eyang putri anak-anak kami), namun kami tak lupa selalu mendoakan beliau berdua. Agar dilapangkan jalan tuk menghadap Allah SWT, diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya. Semoga beliau berdua husnul khotimah. Aamin Yaa Robbal Alaamiin.
Semoga tulisan ini bisa sedikit meringankan beban kerinduan saya terhadap bapak dan ibu yang sudah mendahului kami putra-putrinya.
Posting Komentar